Utang Negara Era Jokowi Tembus Rp 6.711 Triliun, Sri Mulyani: Kaitannya Krisis Moneter 1998
KOMPAS.com - Berdasarkan laman APBN KiTa Kementerian Keuangan per akhir September 2021, utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali bertambah tembus Rp 6.711,52 triliun.
Utang tersebut bertambah cukup signifikan apabila dibandingkan posisi utang pemerintah pada penghujung Agustus 2021 yakni Rp 6.625,43 triliun.
Hal ini artinya dalam sebulan saja, utang negara sudah bertambah sebesar Rp 86,09 triliun.
Dengan bertambahnya utang pemerintah, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) juga mengalami kenaikan.
Rincian utang pemerintah Indonesia
Pada September 2021, rasio utang terhadap PDB adalah 41,38 persen, sementara sebulan sebelumnya yakni 40,85 persen.
Utang pemerintah Indonesia paling besar dikontribusi dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) domestik yakni sebesar Rp 5.887,67 triliun yang terbagi dalam Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Selain SBN domestik, pemerintah juga berutang melalui penerbitan SBN valas yakni sebesar Rp 1.280 triliun per September 2021. Baik SBN domestik maupun valas, keduanya sama-sama mengalami kenaikan cukup besar.
Utang pemerintah lainnya bersumber dari pinjaman yakni sebesar Rp 823,85 triliun meliputi pinjaman dalam negeri sebesar Rp 12,52 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 811,33 triliun.
Apabila dirinci lagi, pinjaman luar negeri itu terdiri dari pinjaman bilateral Rp 306,18 triliun, pinjaman multilateral Rp 463,67 triliun, dan commercial banks Rp 41,48 triliun.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap bahwa ada beberapa fakto penyebab tingginya utang pemerintah.
Akibat krisis moneter 1997-1998
Salah satu penyebab lonjakan utang yang terjadi saat ini karena kondisi utang yang sudah diperparah sejak puluhan tahun lalu dan semakin buruk saat krisis moneter berlangsung pada 1997-1998.
Sri Mulyani berujar, krisis moneter berakibat pada perusahaan dan perbankan yang waktu itu banyak meminjam dollar Amerika Serikat (AS) ke luar negeri, termasuk juga obligasi pemerintah.
Hal tersebut menjadi beban Indonesia karena nilai tukar rupiah terus terkoreksi dari Rp 2.500 per dollar AS sampai sekitar Rp 17.000 per dollar AS.
Untuk menjaga keberlangsungan ekonomi, selain dibebankan dengan lonjakan utang pemerintah, kala itu pemerintah juga berusaha memberikan stimulus-stimulus agar tak semakin banyak perusahaan yang buntung.
“Waktu ada krisis 1997-1998 dengan adanya bail out, makanya utang kita (negara) sangat tinggi karena obligasi. Jadi ujung-ujungnya adalah beban negara,” jelas Sri Mulyani dikutip dari Kompas.com, Rabu (27/10/2021).
Mantan dosen FE UI ini menyebut bahwa pengelolaan anggaran negara tak bisa dilepaskan dari utang. Utang pemerintah dipakai untuk menambal defisit APBN.
Kenaikan utang pemerintah ibarat dua sisi, bisa menjadi penggerak ekonomi. Sebaliknya, utang pemerintah bisa menjadi beban apabila tidak dikelola secara baik.
Sri Mulyani sendiri saat ini mengaku cukup gembira karena banyak warga negara yang antusias membahas soal utang negara sehingga bisa turut andil mengawasi penggunaan APBN.
“Sekarang semua orang ngurusin utang, semua bicara mengenai itu. Jadi it's good (bagus) kalau kita punya ownership (rasa memiliki) terhadap keuangan negara,” kata Sri Mulyani.
Diungkapkan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, banyak anggota masyarakat yang saat ini cukup kritis terhadap pengelolaan utang negara dengan membaca secara detail laporan APBN.
Terlebih lagi, Kementerian Keuangan rutin melaporkannya penggunaan APBN setiap bulan kepada media massa dan masyarakat.
“Nah, kalau hari ini banyak orang yang melihat pada keuangan negara dengan sangat-sangat detail, itu saya senang banget. Kalau 1997-1998 enggak ada yang lihat APBN, dianggap take it for granted. Di 2008-2009 pun enggak ada yang lihat APBN,” ujarnya.
(Sumber: Kompas.com Penulis Muhammad Idris | Editor Muhammad Idris)
Posting Komentar untuk "Utang Negara Era Jokowi Tembus Rp 6.711 Triliun, Sri Mulyani: Kaitannya Krisis Moneter 1998"